Blogger templates

JUMLAH PENGUNJUNG NANA

SAIKI JAM PIRO? NGETI DEWE NING NGISOR IKI LEK:

Pages

Jumat, 06 Juni 2014

Sejarah Sunan Demak Jawa Tengah

Sunan Kalijaga Demak


Asal Usul Sunan Kalijaga
Raden Mas Syahid yang bergelar ”Sunan Kalijaga” adalah putera dari Ki Tumenggung Wilatikta (Bupati Tuban) dengan Dewi Sukati. Raden Syahid merupakan putera pertama yang lahir tahun 1455 dan beliau memiliki seorang adik bernama Dewi Rosowulan yang menikah dengan Empu Supo dan memiliki 2 orang anak yakni Joko Tarub dan Supo Nem.
Istri pertama Raden Syahid (Sunan Kalijaga) bernama Dewi Saroh binti Maulana Ishak, Sunan Kalijaga memperoleh 3 orang putera, masing-masing ialah :
1.Raden Umar Said (Sunan Muria).
2.Dewi Ruqayyah.
3.Dewi Sofiyah.
Ada cerita lain yang disebut di dalam buku ”Pustaka Darah Agung” bahwa Sunan Kalijaga lama berguru dengan Sunan Syarif Hidayatullah Cirebon, maka beliau pernah kawin dengan Dewi Sarokah, yaitu anak puteri Sunan Syarif Hidayatullah dan memperoleh 5 orang anak, yaitu :
1.Kanjeng Ratu Pembayun yang menjadi isteri Raden Trenggono (Demak)
2.Nyai Ageng Panenggak yang kemudian kawin dengan Kyai Ageng Pakar.
3.Sunan Hadi (yang menjadi panembahan kali) menggantikan Sunan Kalijaga sebagai Kepala Perdikan Kadilangu.
4.Raden Abdurrahman.
5.Nyai Ageng Ngerang (makamnya di daerah Solo, Jawa Tengah).
Sunan Kalijaga disebut juga dengan nama-nama Raden Syahid, Raden Abdurrahman, Lokojoyo, Jogoboyo dan Pangeran Tuban. Tetapi yang disebutkan di dalam buku ”Babat Tanah Jawi” mengatakan, bahwa pada usia muda Raden Syahid pernah berguru dengan Sunan Ampel dan juga kepada Sunan Bonang, pada suatu saat beliau diperintahkan untuk menuju Cirebon berguru kepada Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Lalu diperintahkan bertapa di pinggiran sungai di suatu desa bernama ”Kalijaga”. Setelah selesai kembali ke Demak dan oleh kalangan Walisongo di Demak beliau diberi sebutan “Kalijaga”. Tempat pertapaan Raden Syahid yang bernama “Kalijaga” ini sampai sekarang masih ada petilasannya, yaitu di desa kalijaga, sebelah selatan Terminal Bus Induk kota Cirebon.
Pada umumnya para Walisongo namanya menjadi terkenal dengan tempat makamnya, tidak demikian halnya Sunan Kalijaga yang makamnya berada di Kadilangu, tetapi namanya tetap terkenal dengan sebutan “Sunan Kalijaga”.

 Peninggalan Sunan Kalijaga

Masjid Kadilangu.
Sewaktu Sunan Kalijaga masih hidup, Masjid Kadilangu itu masih berupa Surau kecil. Setelah Sunan Kalijaga wafat dan digantikan oleh puteranya yang bernama Sunan Hadi (putera ketiga). Surau tersebut disempurnakan bangunannya hingga berupa masjid seperti terlihat sekarang ini. Disebutkan disebuah prasasti yang terdapat di atas pintu masjid sebelah dalam yang berbunyi : “Meniko titi mongso ngadekipun masjid ngadilangu pada hari Ahad Wage tanggal 16 sasi dzul-hijjah tahun tarikh jawi 1456, (ini waktunya berdiri masjid Kadilangu pada hari Ahad Wage tanggal 16 bualn dzul-hijjah tahun tarikh jawa 1456). Tulisan tersebut aslinya bertulisan Arab. Menurut tutur kata rakyat Masjid Kadilangu ini sudah beberapa kali mengalami perbaikan di sana sini, sehingga banyak bagian bangunannya yang sudah tidak asli, terutama bagian luarnya.
Di Cirebon tepatnya di desa Kalijaga telah terdapat sebuah masjid kuno, letaknya bersebelahan dengan petilasan pertapaan Sunan Kalijaga. Masjid ini oleh masyarakat Cirebon khusunya dikenal dengan nama “Masjid Sunan Kalijaga”.
Masjid tersebut sudah tampak tua, meskipun di sana sini sudah tampak ada perbaikan terutama bagian dinding luar. Berita-berita dari rakyat telah menyampaikan keterangannya yang berbeda-beda.
Ada yang mengatakan, bahwa masjid tersebut berdiri sebelum Sunan Kalijaga berada di tempat pertapaanya itu. Pada saat Sunan Kalijaga bertapa, setiap waktu sholat beliau mengerjakan sholatnya di dalam masjid tersebut. Sehingga masyarakat sekeliling pada waktu itu menyebutnya dengan nama masjid Sunan Kalijaga
Ada yang mengatakan, bahwa masjid tersebut berdiri setelah Sunan Kalijaga selesai melakukan tapa (semedi). Berhubung masjid tersebut letaknya berdampingan dengan tempat pertapaan Sunan Kalijaga, maka oleh masyarakat kemudian dinamai masjid “Sunan Kalijaga”.
Kedua pendapat tersebut memang sulit untuk dibuktikan kebenarannya, karena memang sampai sekarang tutur rakyat tersebut tidak dapat dibuktikan dengan bukti-bukti nyata peninggalan sejarah. Tapi yang jelas sampai sekarang masyarakat Cirebon pada menyebut masjid tersebut dengan nama “Masjid Sunan Kalijaga”.
Masjid ini tampak dari luar sangat angker, mungkin karena letaknya yang berada ditengah-tengah hutan yang penuh dengan ratusan binatang “kera”. Di sekeliling tersebut hanya ada penduduk yang jumlahnya sedikit, kurang lebih terdiri dari sembilan rumah. Masjid ini tampak kurang berfungsi, baik untuk berjamaah shalat lima waktu maupun sebagai tempat atau pusat kegiatan penyiaran agama Islam.
Sunan Kalijaga semasa hidupnya.
Sewaktu masih muda, Raden Syahid tergolong anak muda yang cerdas, trampil, pemberani, dan berjiwa besar, usia mudanya tidak disia-siakan begitu saja, tetaapi benar-benar dipergunakan untuk membesarkan dirinya meskipun tanpa bekal orang tuanya. Beliau suka berguru pada sesepuh. Ilmu-ilmu yang diambil dari gurunya antara lain: ilmu hakikat, ilmu syariah, ilmu kanuragan, ilmu filsafat, ilmu kesenian dan lain sebagainya, sehingga beliau dikenal masyarakat pada masa itu sebagai seorang ahli tauhid, mahir dalam ilmu syariat, mampu mengusai ilmu setrategi perjuangan dan juga seorang filasof. Bahkan ahli pula di bidang sastra sehingga terkenal juga sebagai seorang pujangga karena syair-syairnya yang indah, terutama syair-syair jawa. Lantaran ilmu-ilmu dan kemampuan pribadi yang dimiliki itu, Sunan Kalijaga termasuk salah seorang anggotaa kelompok ”Walisongo” atau ”Walisembilan” yang bergerak dibawah pengatuaran kekuasaan Sultan Patah di Demak. Beliau ditugaskan oleh kelompok walisongo ini untuk menggarap masyarakat di daerah-daerah pedalaman yang kondisinya sangat rawan, karena perilaku kehidupan mereka yang sangat tidak terpuji, misalnya didaerah yang sering terjadi pencurian dan pembunuhan, didaerah yang masyarakat yang suka berjudi, meminum minuman keras dan lain sebagainya. 
Perjuangan Sunan Kalijaga.
Pada saat giat-giatnya para Walisongo berjuang menyiarkan agama Islam, maka Sunan Kalijaga yang termasuk di dalamnya tidak ketinggalan untuk bangkit memperjuangkan syiar dan tegaknya agama Islam, khususnya di tanah Jawa. Beliau termasuk kalangan mereka para Wali yang masih muda, tetapi mempunyai kemampuan yang luar biasa, baik kecerdasan dan ilmu-ilmu yang dimiliki, maupun kondisi umur dan tenaga yang masih muda bila dibandingkan dengan yang lainnya. Ternyata Sunan Kalijaga didalam gerak perjuangannya tidak lepas dari penugasan khusus dan bimbingan yang diberikan para sesepuh Walisongo. Karena itu Sunan Kalijaga benar-benar membanting tulang. Tidak hanya melakukan dakwah disuatu daerah saja, melainkan hilir mudik, keluar masuk hutan dan pegunungan, siang malam terus melakukan tugasnya itu, sehingga terkenal sebagai ”Muballigh Keliling”. Beliau memberanikan diri bertabligh atau berdakwah dengan melalui pertunjukan kesenian berupa ”Wayang” lengkap dengan gamelannya. Sedangkan cerita-cerita yang ada didalam lakon pewayangannya itu diramu dengan butir-butir tuntunan agama Islam dan diselingi dengan syair-syair jawa yang mengandung ajaran agama Islam pula, sehingga rakyat yang menonton dan mendengarkan cerita wayang yang dipertunjukan Sunan Kalijaga itu tidak merasakan bahwa dirinya sudah mulai kemasukkan ajaran agama Islam. Cara-cara dakwah Sunan Kalijaga yang semacam ini diterapkan dalam perjuangannya itu lantaran adanya pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :
a.Bahwa rakyat dan penduduk tanah Jawa pada saat itu masih kuat dipengaruhi oleh kepercayaan agama Hindu dan Budha atau juga oleh kepercayaan warisan nenek moyang mereka dahulu, sehingga tidak mungkin begitu saja untuk dialihkan kepercayaannya. Karena itu harus pelan-pelan memasukkan ajaran agama Islam, tidak bisa melalui kekerasan.
b.Bahwa rakyat di tanah Jawa pada saat itu masih kuat di dalam memegang adat istiadat dan budaya nenek moyangnya, baik yang bersumber dari ajaran agama Hindu dan Budha, maupun kepercayaan animisme yang mereka yakini saat itu, sehingga tidak mudah meruban begitu saja terhadap adat istiadat dan budaya tersebut, tetapi Sunan Kalijaga justru membiarkan adat istiadat dan budaya tersebut tetap berjalan di tengah-tengah mereka, hanya saja sedikit demi sedikit adat istiadat dan budaya itu di masuki dengan ajaran agama Islam, baik yang menyangkut hakikat (tauhid) maupun syariah serta akhlaqul karimah.
Dengan pertimbangan keadaan rakyat yang seperti itu maka Sunan Kalijaga harus berfikir untuk menemukan cara yang paling tepat dalam perjuangan mengajak mereka memeluk agama Islam, maka ditemukanlah jalan yaitu bertabligh dengan menyuguhkan ”Kesenian Wayang” yang pada saat itu sedang digemari oleh masyarakat di tanah Jawa ini.
Tidak hanya cara itu saja yang ditempuh oleh Sunan Kalijaga, tetapi beliau bahkan sering bercampur-campur rakyat yang boleh dikatakan ”abangan”. Demikian menurut berita rakyat yang masih bisa diterima. Suatu saat beliau bercampur dengan orang-orang yangt masih kotor perilaku terpuji, misalnya orang-orang yang suka mengadu ayam, berjudi, meminum minuman keras juga terhadap orang yang pekerjaannya mencuri dan lain sebagainya. Beliau bercampur dengan mereka itu tidak memperlihatkan ”sikap fanatik” terhadap mereka justru Sunan Kalijaga membina dan membimbing mereka secara pelan-pelan menuju jalan yang benar sesuai dengan tuntunan ajaran agama Islam, meskipun harus memutar otak dan membanting tulang. Mereka menjadi sadar, bahwa apa yang diperbuat se4muanya itu telah merugikan dirinya dan dapat berakibat fatal terhadap rakyat banyak.
Ada sementara orang yang beranggapan, bahwa karena sikap dan perilakunya Sunan Kalijaga yang terlihat ”sok campur dengan orang-orang jelek, sok campur dengan orang-orang abangan” lalu memberikan penilaian dan bahkan memberikan sebutan sebagai ”Wali Abangan”. Berdasar cerita diatas tadi, maka sebutan dan anggapan tersebut adalah ”tidak benar”, karena apa yang diperbuat oleh Sunan Kalijaga seperti itu sesungguhnya merupakan sikap menjalankan perintah dari Walisongo bukan karena sikap laku dirinya lantaran kebodohannya.
Hampir seluruh masa hidup Sunan Kalijaga benar-benar dipergunakan untuk berjuang demi syiarnya agama Islam, khususnya di tanah Jawa sebagaimana para Wali yang lainnya. Akhirnya beliau wafat, sayang sampai sekarang belum ada ahli sejarah satupun yang dapat menemukan tahun wafatnya. Bahkan juga kelahiran beliau hanya ada berita dari rakyat yang menyatakan bahwa Sunan Kalijaga wafat setelah berumur panjang sekali, sehingga pada masa hidupnya dapat mengalami masa kekuasaan 3 kerajaan, yaitu :
Pertama : masa kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Kedua : masa kekuasaan Kerajaan Demak.
Ketiga : masa kekuasaan Kerajaan Pajang.
Sampai sekarang haanya bisa diketahui makamnya, yaitu di desa ”Kadilangu” kabupaten Demak, kurang lebih 2 km dari Masjid Agung Demak.
Jasa-jasa Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga termasuk salah seorang dari kalangan Walisongo yang tergolong muda saat itu, lagi pula paling berat tugasnya maka apabila sejarah perjuangan beliau diteliti, sesungguhnya tidak sedikit jasa-jasanya. Antara lain ialah :
a.Bidang Strategi Perjuangan.
Seperti diketahui bahwa Walisongo didalam menyebarkan ajaran agama Islam di tanah Jawa ini tidak begitu saja melangkah, melainkan mereka menggunakan cara-cara dan jalan (taktik dan strategi) yang diperhitungkan benar-benar, memakai pertimbangan yang masak, tidak ngawur sehingga agama Islam disampaikan kepada rakyat dapat diterima dengan mudah dan penuh kesabaran, bukan karena terpaksa.
Sunan Kalijaga didalam menyebarkan ajaran Islam benar-benar memahami dan mengetahui keadaan rakyat yang masih kebal dipengaruhi kepercayaan agama Hindu Budha dan gemar menampilkan budaya-budaya Jawa yang berbau kepercayaan itu, maka bertindaklah beliau sesuai dengan keadaan yang demikian itu, sehingga taktik dan strategi perjuangan beliau disesuaikan pula dengan keadaan, ruang dan waktu.
Berhubung pada waktu itu sedikit para pemeluk agama Siwa Budha yang fanatik terhadap ajaran agamanya, maka akan berbahaya sekali apabila dalam mengembangkan agama Islam selanjutnya tidak dilakukan dengan cara bijaksana dan melaui jalan pendekatan yang mudah ditempuh. Para Wali termasuk Sunan Kalijag mengetahui bahwa rakyat dari kerajaan Majapahit masih lekat sekali dengan kesenian dan kebudayaan mereka, misalnya gemar terhadap gamelan dan keramaian-keramaian yang bersifat keagamaan siwa Budha.
Setelah para Walisongo mengadakan musyawarah bersama, maka telah ditemukan suatu cara yang tepat sekali untuk mengIslamkan mereka. Cara tersebut yang menemukan adalah Sunan Kalijaga salah seorang yang terkenal berjiwa besar, berpandangan jauh kedepan, berfikir tajam dan kritis dan yang lebih menarik justru beliau berasal dari suku jawa asli lagi pula ahli seni, sehingga beliau paham terhadap seni-seni Jawa dan gamelan serta gending-gending.
b.Bidang Kesenian
Sunan Kalijaga ternyata mampu menciptakan kesenian dengan berbagai bentuknya. Maksud utama kesenian itu diciptakan adalah sebagai alat dalam bertabligh mengelilingi berbagai daerah, ternyata malah mempunyai nilai sejarah yang berharga bagi bangsa Indonesia. Kesenian yang diciptakan Sunan Kalijaga tersebut berupa ”Wayang” lengkap dengan gamelannya. Bahkan Sunan Kalijaga pernah memesan kepada orang yang ahli membuat gamelan, yaitu pesan supaya dibuatkan ”Serancak gamelan” yang kemudian diberi nama gamelan ”Kyai Sekati”.
Dan masih banyak yang diciptakan Sunan Kalijaga dibidang seni termasuk seni lukis dan lain sebagainya. Dari sinilah Sunan Kalijaga kemudian terkenal dikalangan masyarkat Jawa sampai sekarang sebagai seorang ahli seni. 
Di lain pihak Sunan Kalijagajuga menciptakan karangan cerita-cerita pewayangan yang kemudian dikumpulkan dalam kitab-kitab cerita wayang dan sampai sekarang masih ada. Cerita-cerita itu masih berbentuk ceriat menurut kepercayaan jawa dengan corak kebudayaannya yang ada, tetapi sudah dimasuki unsur-unsur ajaran Islam sebanyak mungkin. Cara itu dilakukan oleh Sunan Kalijaga. Karena adanya pertimbangan, bahwa rakyat pada saat itu masih tebal kepercayaannya Hindu Budha-nya.
Sebab-sebab itulah yang mendorong Sunan Kalijaga harus memutar otak dan membanting tulang sebagai salah seorang mubaligh untuk mengatur siasat dan menempuh jalan yang tepat, yakni mengawinkan ajaran Islam dengan kebiasaan dan kebudayaanmereka sebagaimana yang ditempuh pula para Wali yang lainnya.
Satu hal yang patut dicatat, menurt komentar rakyat, bahwa Sunan Kalijaga disamping sebagai mubaligh keliling kesana-kemari menyampaikan dakwahnya, ternyata beliau masih sempat pula mengarang cerita-cerita wayang terutama yang menagandung nilai filosofis dan berjiwa Islam, termasuk seni suara denagn bentuk syi-ir-syi-irnya yang mengandung Tauhid kepada Allah SWT.
c. Bidang lain-lain
Disamping jasa-jasa beliau tersebut tadi, maka masih ada jasanya yang lain, seperti pendirian Masjid Agung Demak, Sunan Kalijaga tidak ketinggalan ikut serta membangun masjid bersejarah itu. Malah ada hasil karya beliau yang sangat terkenal sampai sekarang yaitu ”Soko Tatal” artinya tiang pokok dalam Masjid Agung Demak yang terbuat dari potongan-potongan kayu jati, lalu disatukan dalam bentuk tiang bulat berdiameter kurang lebih 70cm ini yang membuat adalah Sunan Kalijaga.
Makam Sunan Kalijaga.
Sunan Kalijaga wafat dan dimakamkan di desa “Kadilangu” Demak. Menurut cerita rakyat menyatakan, Sunan Kalijaga bertempat di desa Kadilangu ini dimungkinkan karena pertimbangan supaya dekat dengan Demak sebagai pusat pemerintahan Islam saat itu. Dengan demikian memudahkan beliau mengadakan kontak dengan pusat pemerintahan. Sampai akhir hayatnya beliau berada di desa Kadilangu dan dimakamkan di desa ini juga.
Setiap hari makam beliau banyak dikunjungi orang yang kebanyakan bertujuan ziarah makamnya, meskipun kadang-kadang ada juga yang datang hanya ingin tahu makam pembuat sejarah penting di tanah Jawa ini. Pada hari-hari tertentu makam Sunan Kalijaga ramai, banyak orang berziarah, terutama hari Ahad, Kamis dan Jum’at. Bahkan lebih ramai lagi pada hari kamis malam jum’at kliwon, baik yang tua maupun yang muda. Terlihat pada waktu mereka berziarah di makamnya, ada yang membaca surat yaa-siin, ada yang membaca Tahlil dan ada yang terus melakukan riyadlah beberapa hari di makam tersebut.
Biasanya pada tanggal 10 Dzul-hijjah, makm Sunan Kalijaga juga ramai dikunjungi orang, karena ingin melihat atau mengikuti upacara penjamasan benda-benda pusaka terutama yang berupa “Kelambi Kyai Gondil”, sebagian tutur rakyat bukan saja Kelambi Gondil yang disucikan, tetapi juga “Kelambi Onto Kusumo” juga.
B.3 Manfaat cerita rakyat Makam Sunan Kalijaga bagi masyarakat Kadilangu dan Sekitarnya.
Memberikan informasi, pengajaran, hiburan, dan memberikan pengetahuan kepada khalayak agar mengetahui sejarah peninggalan pada zaman dahulu khususnya Makam Sunan Kalijaga.
B.4 Persepsi masyarakat tentang cerita rakyat Makam Sunan Kalijaga.
Dalam cerita rakyat Makam Sunan Kalijaga terdapat salah satu benda peninggalan beliau yaitu, 2 buah Gentong. Gentong tersebut dulunya digunakan untuk wudhu dan airnya diambil langsung dari sungai kadilangu.
Karena itulah sampai saat ini banyak orang yang datang berziarah meminta berkah yaitu untuk diminum juga berwudhu. Mereka percaya bahwa air tersebut dapat membuat kita pintar dan selalu sehat. Percaya atau tidak terserah pada diri kita masing-masing. Tuhan menciptakan benda-benda di alam ini pasti ada manfaatnya bagi kehidupan manusia.
C. Nilai-nilai Cerita Rakyat ”Makam Sunan Kalijaga”.
Nilai-nilai budaya yang terkandung dalam cerita rakyat tersebut memiliki tiga nilai yaitu :
Nilai Keagamaan : Upaya penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga di daerah Demak dan sekitarnya.
Nilai Budaya : Sunan Kalijaga menyebarkan agama islam dengan Gendhing-gendhing Jawa dan Gamelan.
Nilai Kepahlawanan : Saat Sunan Kalijaga menggarap masyarakat di daerah-daerah pedalaman yang kondisinya sangat rawan.

Sejarah Sunan Kudus Jawa Tengah

Sunan Kudus Raden Ja'far Sodiq







 SUNAN KUDUS Ja'far Sodiq, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Kudus, adalah putera dari Raden Usman Haji yang bergelar dengan sebutan Sunan Ngudung di Jipang Panolan (ada yang mengatakan letaknya disebelah utara kota blora). Dalam hubungan ini di dalam sejarah, kita mengenal pula seorang wali yang tekenal di Iran, yang hidup dalam abad ke VIII, yang namanya juga Ja'far Sodiq seorang Imam Syi'ah yang keenam.
Semasa hidupnya Sunan Kudus mengajarkan agama Islam disekitar daerah Kudus khususnya dan di Jawa Tengah pesisir utara pada umumnya. beliau terhitung salah seorang ulama, guru besar agama yang telah mengajar serta menyiarkan agama Islam di daerah Kudus dan sekitarnya. terkenal dengan keahliannya dalam ilmu agama. terutama dalam Ilmu Tauhid, Usul , Hadits, Sastra Mantiq dan lebih-lebih di dalam Ilmu Fiqih
Oleh sebab itu beliau digelari dengan sebutan sebagai Waliyyul 'Ilmi. menurut riwayat beliau juga termasuk salah seorang pujangga yang berinisiatif mengarang cerita-cerita pendek yang berisi filsafat serta berjiwa agama. diantara buah ciptaannya yang terkenal, ialah Gending Maskumambang dan Mijil. Adapun Imam Ja'far Sodiq yang terkenal di Iran itu tidak saja sebagai seorang imam dari kaum Syi'ah, akan tetapi juga sebagai seorang yang terkemuka di dalam soal-soal hukum maupun ilmu pengetahuan lainnya.
Dengan demikian, maka menurut hemat kita Ja'far Sodiq yang terkenal di Iran sebagai seorang wali, seorang imam dari golongan Syi'ah yang amat dipuja serta dihormati itu, kiranya bukanlah Ja'far Sodiq seorang wali yang menjadi salah seorang anggota dari kesembilan wali di Jawa, yang makamnya terdapat di kota Kudus, adapun Ja'far Sodiq yang kemudian ini, terkenal dengan sebutan Sunan Kudus. Disamping bertindak sebagai guru agama Islam. juga sebagai salah seorang yang kuat syariatnya, Senan Kudus-pun menjadi senopati dari kerajaan Islam di Demak


Antara lain yang termasuk bekas peninggalan beliau adalah Masjid Raya di-Kudus, yang kemudian dikenal dengan sebutan masjid menara Kudus. Oleh karena di halaman masjid tersebut terdapat sebuah menara kuno yang indah. Mengenai asal-usulnya nama Kudus menurut dongeng (legenda) yang hidup dikalangan masyarakat setempat ialah, bahwa dahulu Sunan Kudus pernah pergi naik haji sambil menuntut ilmu di tanah arab, kemudian beliaupun mengajar pula di sana. pada suatu masa, di tanah arab konon berjangkit suatu wabah penyakit yang membahayakan, penyakit mana kemudian menjadi reda, berkat jasa sunan kudus., oleh karena itu, seorang amir disana berkenan untuk memberikan suatu hadian kepada beliau. akan tetapi beliau menolak,hanya kenang-kenangan beliau meminta sebuah batu. Batu tersebut katanya berasal dari kota Baitul Makdis, atau Jeruzalem, maka sebagai peringatan kepada kota dimana Ja'far Sodiq hidup serta bertempat tinggal, kemudian diberikan nama Kudus. Bahkan menara yang terdapat di depan masjid itupun juga menjadi terkenal dengan sebutan menara Kudus.

Adapun mengenai nama Kudus atau Al Kudus ini di dalam buku Encyclopedia Islam antara lain disebutkan : "Al kuds the usual arabic nama for Jeruzalem in later times, the olders writers call it commonly bait al makdis (according to some : mukaddas), with really meant the temple (of solomon), a translation of the hebrew bethamikdath, but itu because applied to the whole town." Mengenai perjuangan Sunan Kudus dalam menyebarkan agama Islam tidak berbeda dengan para wali lainnya, yaitu senantiasa dipakai jalan kebijaksanaan, dengan siasat dan taktik yang demikian itu, rakyat dapat diajak memeluk Agama Islam.

Sejarah Sunan Di Kota Kudus Jawa Tengah

Sunan Muria



Sunan Muria yang memiliki nama asli Raden Umar Said adalah putra Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh. Nama Muria diambil dari nama tempat tinggal terakhir beliau di lereng Gunung Muria, kira-kira delapan belas kilometer ke utara Kota Kudus. Seperti ayahnya, dalam berdakwah beliau menggunakan cara halus, ibarat mengambil ikan tidak sampai mengeruhkan airnya.  Itulah cara yang ditempuh untuk menyiarkan agama Islam di sekitar Gunung Muria.

Berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah yang sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Tempat tinggal beliau terletak di salah satu puncak Gunung Muria yang bernama Colo. Di sana Sunan Muria banyak bergaul dengan rakyat jelata sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut. Beliaulah satu-satunya wali yang tetap mempertahankan kesenian gamelan dan wayang sebagai alat dakwah untuk menyampaikan ajaran Islam.  Salah satu hasil dakwah beliau melalui media seni adalah tembang Sinom dan Kinanti.

Sunan Muria sering berperan sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530). Beliau dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juwana hingga sekitar Kudus dan Pati. Peranan serta jasa Sunan Muria semasa hidupnya membuat makam beliau yang terletak di Gunung Muria sampai hari ini tidak pernah sepi peziarah.

Kamis, 05 Juni 2014

Makanan Khas Yogyakarta

Gudeg Yogyakatra





Gudeg, makanan khas jogja adalah salah satu makanan khas yang diminati oleh beberapa orang, rasanya yang khas dan manis membuat orang mudah ingat dengan makanan yang satu ini, gudeg adalah buah nangka muda (gori) direbus di atas tungku sekitar 100 derajat celcius selama 24 jam untuk menguapkan kuahnya. Sebagai lauk pelengkap, daging ayam kampung dan telur bebek dipindang yang kemudian direbus. Sedangkan rasa pedas merupakan paduan sayur tempe dan sambal krecek.
Gori atau nangka muda, adalah bahan baku utama gudeg yang lebih umum dikenal. Sebab di masa lalu, bahan baku ini sangat mudah diperoleh di kebun-kebun milik masyarakat Jogyakarta, dulu orang Jogya hanya mengenal satu jenis gudeg, yakni gudeg basah. Gudeg kering dikenal setelahnya, sekitar 57-an tahun dari saat sekarang ini. Hal ini setelah orang-orang dari luar Jogja mulai membawanya sebagai oleh-oleh. Keuntungannya, gudeg pun tumbuh sebagai home industry makanan tradisional di Jogja.
Banyak wisatawan yang berkunjung ke Jogja dan rasanya kurang lengkap jika belum menyantap gudeg di tempat ini. Tidak hanya rasanya tapi juga kemasan gudeg atau oleh-oleh khas Jogja ini dikemas menarik dengan menggunakan ‘besek’ (tempat dari anyaman bambu) atau menggunakan ‘kendil’ (guci dari tanah liat yang dibakar). Melengkapi sajian nasi gudeg akan lebih pas disertai minuman teh gula batu. Dijamin Anda akan ketagihan.
Warung gudeg yang berderet di sebelah selatan Plengkung Tarunasura (Plengkung Wijilan) ini memiliki sejarah panjang. Ibu Slamet adalah orang pertama yang merintis usaha warung gudeg di tahun 1942.
Beberapa tahun kemudian warung gudeg di daerah itu bertambah dua, yakni Warung gudeg Campur Sari dan Warung Gudeg Ibu Djuwariah yang kemudian dikenal dengan sebutan Gudeg Yu Djum yang begitu terkenal sampai sekarang.
Ketiga warung gudeg tersebut mampu bertahan hingga 40 tahun. Sayangnya, tahun 1980’an Warung Campur Sari tutup. Baru 13 tahun kemudian muncul satu lagi warung gudeg dengan label Gudeg Ibu Lies. Dan sampai sekarang, warung gudeg yang berjajar di sepanjang jalan Wijilan ini tak kurang dari sepuluh buah.
Gudeg Wijilan memang bercita rasa khas, berbeda dengan gudeg pada umumnya. Gudegnya kering dengan rasa manis. Cara memasaknya pun berbeda, buah nangka muda (gori) direbus di atas tunggu sekitar 100 derajat celcius selama 24 jam untuk menguapkan kuahnya.
Sebagai lauk pelengkap, daging ayam kampung dan telur bebek dipindang yang kemudian direbus. Sedangkan rasa pedas merupakan paduan sayur tempe dan sambal krecek.
Ketahanan gudeg Wijilan ini memang cocok sebagai oleh-oleh, karena merupakan gudeg kering, maka tidak mudah basi dan mampu bertahan hingga 3 hari. Tak heran jika gudeg dari Wijilan ini sudah “terbang” ke berpabagi pelosok tanah air, bahkan dunia.
Harganya pun variatif, mulai dari Rp 20.000,- sampai Rp 100.000,-, tergantung lauk yang dipilih dan jenis kemasannya. Bahkan ada yang menawarkan paket hemat Rp 5.000, dengan lauk tahu, tempe, dan telur.
Seperti kemasan gudeg-gudeg di tempat lain, oleh-oleh khas Jogja ini dapat dikemas menarik dengan menggunakan ‘besek’ (tempat dari anyaman bambu) atau menggunakan ‘kendil’ (guci dari tanah liat yang dibakar). Yang lebih unik, beberapa penjual gudeg Wijilan ini dengan senang hati akan memperlihatkan proses pembuatan gudegnya jika pengunjung menghendaki.
Bahkan, di warung Gudeg Yu Djum menawarkan paket wisata memasak gudeg kering bagi Anda yang ingin memasak sendiri. Anda akan mendapat arahan langsung dari Yu Djum dengan logat khas jogja-nya yang kental.
Seharian penuh Anda akan belajar membuat gudeg, dari mulai merajang ‘gori’, meracik bumbu, membuat telur pindang, sampai mengeringkan kuah gudeg di atas api. Melengkapi sajian nasi gudeg Wijilan akan lebih pas disertai minuman teh poci gula batu. Dijamin anda akan ketagihan. Ada lagi yang unik, gudeg “darah”..
Lha itu kan gudeg rasa “Jawa”, kalau nggak suka rasa “Jawa” yang manis itu trus gimana ? Nggak usah kuatir bos, karena sekarang sudah banyak gudeg yang rasanya nasional, enak bagi siapa saja yang melahapnya. Rasanya gurih, walaupun masih ada sedikit sekali rasa manisnya, tetep rasanya mak nyus bagi lidah-lidah yang nggak terbiasa rasa manis.
Bagi anda yang ingin bersantap nikmat, Gudeng Permata barangkali bisa menjadi salah satu pilihan. Bukan hanya yang belum pernah menjajal menu gudeg, bahkan yang sudah terbiasa pun, Gudeg Permata layak untuk dicoba. Bukan saja soal rasa yang pas di lidah, tapi Gudeg Permata juga dikenal pas di kantong. Sehingga menu khas Jogja satu ini, relatif bisa diterima banyak kalangan, entah itu warga Jogja sendiri, ataupun warga luar kota yang sedang di Jogja.
Gudeg Bu Pujo atau dikenal dengan Gudeg Permata, karena lokasinya berada di sisi barat areal Gedung Bioskop Permata. Begitu terkenalnya Gudeg Permata sehingga banyak orang ‘gede’ yang menjadi langganan atau menyempatkan mampir untuk mencicipi Gudeg Permata. Sebut saja Sri Sultan HB X, almarhum Sri Paku Alam VIII, Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto, Andi Mallarangeng yan kini menjadi Menpora, serta kalangan artis termasuk Rano Karno.
Ketika Bu Pujo masih ada, Sultan HB X sering memesan nasi Gudeg Permata. Jika Sri Sultan HB X atau keluarga kraton datang memesan, biasanya pembeli yang lain tahu diri. Demikian pula jika almarhum Sri Paku Alam VIII atau keluarganya memesan maka pembeli yang lain bersedia menunggu hingga giliran mereka tiba. Menu andalan Gudeg Permata sejak dulu hingga sekarang masih tetap sama, yaitu sambal krecek dan cita rasa gudeg. Sambalnya cukup pedas sehingga orang Sumatra pun menyukainya. Rasa gudegnya tidak terlalu manis seperti kebanyakan gudeg Jogja.
Bagi orang Jogja atau luar Jawa yang tidak suka masakan manis, mereka merasa cocok dengan Gudeg Permata. Saat ini, Bu Pujo sendiri sudah meninggal sehingga Gudeg Permata diteruskan oleh Wati, putri ketiga almarhum. Meskipun Bu Pujo sudah meninggal, namun rasa Gudeg Permata tidak berubah karena Wati mewarisi resep-resep jitu gudeg dari Bu Pujo. Wati memang dipercaya untuk meneruskan ‘Dinasti Gudeg Permata’ yang dirintis sang ibu.
Konon, Bu Pujo memulai usaha sebelum tahun 1951. Awalnya, ia membantu sang ibu, Marto Surip (almarhum) berjualan gudeg di Pasar Ketandan (utara Pasar Beringharjo). Sebelum ibunya (Marto Surip) meninggal, Bu Pujo berusaha berdikari dengan membuka usaha gudeg di Gedung Bioskop Luxor (kini bernama Gedung Bioskop Permata) sekitar tahun 1951. “Dapat tempat di sana juga atas izin pemilik Gedung Bioskop Luxor,” jelas Pak Pujo. Saat itu pembeli maupun langganannya belum banyak, suasananya pun masih sepi. Sebelum krisis ekonomi tahun 1998, sebenarnya banyak penonton Bioskop Permata yang makan gudeg setelah nonton fi lm yang diputar pada pukul 19.00 dan 21.00 WIB. Lama-kelamaan, banyak orang yang suka dengan masakan gudeg dan sambal buatan Bu Pujo. Pembeli dan langganan hasil gethok tular (dari mulut ke mulut) tersebut mulai bertambah banyak sehingga usaha gudeg Bu Pujo pun semakin dikenal.
Masa keemasan gudeg Bu Pujo yang kini terkenal dengan trade mark Gudeg Permata terjadi sebelum krisis ekonomi. Keuntungan dari hasil jualan gudeg juga sudah bisa dinikmati. Terbukti, almarhum bisa menyekolahkan dua dari tiga putrinya di perguruan tinggi, memperbaiki rumah, bahkan menyisihkan sebagian uang untuk menabung. Setiap hari, kecuali Minggu, Gudeg Permata buka mulai pukul 21.00 hingga 01.00 dini hari. Menurut Wati, resep sukses Gudeg Permata selain menu gudeg yang khas Bu Pujo, ia juga sangat memperhatikan cara men-service pembeli dan langganan. Masa ‘panen’ rizki biasanya terjadi selama bulan Ramadhan, sehari setelah lebaran, dan tahun baru. Setiap hari, hanya dalam waktu lima jam, yaitu mulai pukul 21.00 hingga 01.00., bisnis gudegnya mampu menghabiskan 25 ayam kampung dan 200 telur itik. Dari situ bisa dibayangkan betapa banyaknya pembeli yang antre. Sedangkan kapasitas
tempat duduk lesehan yang tersedia mampu menampung sekitar 100 orang. Setiap hari, rata-rata Gudeg Permata melayani hingga 200 orang pembeli. Bahkan jika malam Minggu, pembelinya bisa lebih dari 200 orang.

SEJARAH KOTA ISTIMEWA D.I.Y

Yogyakarta



Keberadaan Kota Yogyakarta tidak bisa lepas dari keberadaan Kasultanan Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi yang memperjuangkan kedaulatan Kerajaan Mataram dari pengaruh Belanda, merupakan adik dari Sunan Paku Buwana II. Setelah melalui perjuangan yang panjang, pada hari Kamis Kliwon tanggal 29 Rabiulakhir 1680 atau bertepatan dengan 13 Februari 1755, Pangeran Mangkubumi yang telah bergelar Susuhunan Kabanaran menandatangani Perjanjian Giyanti atau sering disebut dengan Palihan Nagari Palihan Nagari inilah yang menjadi titik awal keberadaan Kasultanan Yogyakarta. Pada saat itulah Susuhunan Kabanaran kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwana Senopati Ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping I. Setelah Perjanjian Giyanti ini, Sri Sultan Hamengku Buwana mesanggrah di Ambarketawang sambil menunggui pembangunan fisik kraton.
Sebulan setelah ditandatanganinya Perjanjian Giyanti tepatnya hari Kamis Pon tanggal 29 Jumadilawal 1680 atau 13 Maret 1755, Sultan Hamengku Buwana I memproklamirkan berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan ibukota Ngayogyakarta dan memiliki separuh dari wilayah Kerajaan Mataram. Proklamasi ini terjadi di Pesanggrahan Ambarketawang dan dikenal dengan peristiwa Hadeging Nagari Dalem Kasultanan Mataram – Ngayogyakarta. Pada hari Kamis Pon tanggal 3 sura 1681 atau bertepatan dengan tanggal 9 Oktober 1755, Sri Sultan Hamengku Buwana I memerintahkan untuk membangun Kraton Ngayogyakarta di Desa Pacethokan dalam Hutan Beringan yang pada awalnya bernama Garjitawati.
Pembangunan ibu kota Kasultanan Yogyakarta ini membutuhkan waktu satu tahun. Pada hari Kamis pahing tanggal 13 Sura 1682 bertepatan dengan 7 Oktober 1756, Sri Sultan Hamengku Buwana I beserta keluarganya pindah atau boyongan dari Pesanggrahan Ambarketawan masuk ke dalam Kraton Ngayogyakarta. Peristiwa perpindahan ini ditandai dengan candra sengkala memet Dwi Naga Rasa Tunggal berupa dua ekor naga yang kedua ekornya saling melilit dan diukirkan di atas banon/renteng kelir baturana Kagungan Dalem Regol Kemagangan dan Regol Gadhung Mlathi. Momentum kepindahan inilah yang dipakai sebagai dasar penentuan Hari Jadi Kota Yogyakarta karena mulai saat itu berbagai macam sarana dan bangunan pendukung untuk mewadahi aktivitas pemerintahan baik kegiatan sosial, politik, ekonomi, budaya maupun tempat tinggal mulai dibangun secara bertahap. Berdasarkan itu semua maka Hari Jadi Kota Yogyakarta ditentukan pada tanggal 7 Oktober 2009 dan dikuatkan dengan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2004.

Makanan Khas Solo Jawa Tengah

Serabi Solo


Akhir akhir ini nama kota solo jawa tengah
sering sekali di sebut mulai dari walikotanya yang nyalon jadi DKI 1 sampai pada damainya 2 raja di keraton solo tetapi saya tidak mau ikut-ikutan membahas mereka (karena saya tidak faham), disini saya akan coba hadirkan salahsatu jajanan khas soloyang sangat terkenal dan sudah jadi icon dari kota yang biasa di sebut dengan spirit of java ini, yaitu serabi soloatau biasa juga di sebut serabi notosuman.


Serabi terkadang disebut juga dengan srabi atau surabi merupakan salah satu makanan ringan atau jajanan pasar yang banyak terdapat di beberapa daerah di Indonesia. Serabi mirip dengan pancake namun terbuat dari tepung beras (bukan tepung terigu) dan diberi kuah cair yang manis (biasanya dari gula kelapa). Kuah ini bervariasi menurut daerah di Indonesia dan saat ini saya akan coba hadirkan serabi solo atau serabi notosuman.

Serabi solo atau serabi notosuman merupakan jajanan khas Solo, Serabi adalah jajanan khas yang terbuat dari tepung beras, dicampur dengan santan kelapa, dan beberapa bumbu lainnya. Untuk resep lengkapnya silahkan klik disini. Serabi Solo memang berbeda dengan serabi-serabi didaerah lainya, selain rasa yang berbeda serabi Solo juga memiliki bentuk yang sangat unik. Bentuknya seperti serabi Bandung namun serabi Solo ada krispinya yang terdapat di pinggirnya.

Serabi Solo mempunyai bentuk yang melebar pada bagian pinggir, sangat cocok bila di nikmati saat masih hangat, bagian pinggirnya terasa renyah. Bagian tengah yang merupakan inti serabinya terasa gurih dan lembut. Rasa gurih ini berasal dari guyuran santan kelapa pada waktu memasak serabi, dan biasa saat ini juga pada serabi ditambah aneka topping dengan berbagai rasa seperti coklat, aneka buah, keju, dan lain-lain.

Asal-usul Serabi Solo atau serabi notosuman ini konon berasal dari resep khas keluarga, tetapi seiring dengan disukainya resep khas keluarga tersebut, usaha pembuatan serabi itupun terus dikembangkan. Pada dasarnya Serabi Solo mempunyai dua jenis rasa, yaitu polos dan berisi, untuk yang polos, serabi disajikan tanpa menggunakan tambahan apa-apa dibagian tengahnya. Sedangkan Serabi Solo memiliki isi taburan berbagai rasa dibagian tengahnya. Isinya biasanya berupa coklat, keju ataupun aneka buah.

Karena saya sudah sedikit saya hadirkan apa itu serabi solo maka saat anda ada di solo atau sedang melewati solo tidak ada salahnya anda mampir ke daerah notosuman yang terletak di tengah-tengah kota solo. Kalau anda kesulitan mencarinya saat ini serabi juga sudah banyak sekali di jual di luar daerah notosuman.

Sejarah Makanan Semarang Jawa Tengah

Lumpia Kota Semarang



Cita rasa lumpia semarang adalah perpaduan rasa antara Tionghoa dan Indonesia karena pertama kali dibuat oleh seorang keturunan Tionghoa yang menikah dengan orang Indonesia dan menetap di Semarang, Jawa Tengah. Makanan ini mulai dijajakan dan dikenal di Semarang ketika pesta olahraga GANEFO diselenggarakan pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
Lumpia Semarang diawali oleh pasangan Tjoa Thae Joe-Wasi. Tjoa yang meninggal tahun 1930-an membuat cita rasa lumpia berdasar asal daerahnya, Fukien, China. Karenanya masakan yang dibuat bergaya Hokkian. Sementara Wasi, adalah penjual lumpia lokal dengan cita rasa manis asin. Keduanya menikah dan menyatukan usaha mereka. Saat itu usaha yang dikembangkan berlokasi di Gang Lombok di Kawasan Pecinan. Selanjutnya usaha itu diteruskan anaknya, Siem Gwan Sing. Generasi ketiga, Siem Swie Hie membuka warung di Jl Pemuda dan berkembang hingga kini diteruskan oleh Lien.
Saat ini terdapat enam jenis lumpia semarang dengan cita rasa yang berbeda. Pertama aliran Gang Lombok (Siem Swie Kiem), kedua aliran Jalan Pemuda (almarhum Siem Swie Hie), dan ketiga aliran Jalan Mataram (almarhumah Siem Hwa Nio). Ketiga aliran ini berasal dari satu keluarga Siem Gwan Sing–Tjoa Po Nio yang merupakan menantu dan putri tunggal pencipta lumpia Semarang, Tjoa Thay Yoe–Wasih dan yang terakhir adalah lumpia Jalan TanggaMus (Ny. Mechtildis Tyastresna Halim).
Aliran keempat adalah sejumlah bekas pegawai lumpia Jalan Pemuda, dan aliran kelima adalah orang-orang dengan latar belakang hobi kuliner yang membuat lumpia dengan resep hasil pembelajaran dari lumpia yang sudah beredar.
Generasi tertua saat ini, yaitu generasi ketiga Siem Swie Kiem (68), tetap setia melayani konsumennya di kios warisan ayahnya (Siem Gwan Sing) di Gang Lombok 11. Keistimewaan lumpia Gang Lombok ini menurut sejumlah penggemarnya yang sempat ditemui di kios tersebut adalah racikan rebungnya tidak berbau, juga campuran telur dan udangnya tidak amis.
Adapun generasi keempat lainnya, yaitu anak-anak dari almarhum Siem Hwa Nio (kakak perempuan dari Siem Swie Kiem) meneruskan kios ibunya di Jalan Mataram (Jalan MT Haryono) di samping membuka kios baru di beberapa tempat di Kota Semarang. Bahkan ada cucu almarhum Siem Hwa Nio sebagai generasi kelima membuka kios lumpia sendiri di Semarang.
Kini Anda yang tinggal di sekitar Jakarta, jika rindu ingin mencicipi lumpia khas Semarang dengan rasa yang otentik, tidak perlu jauh-jauh pergi ke Semarang, cukup hubungi kami, PesanLumpia.com, Anda tinggal duduk manis, Lumpia Semarang akan tersaji di meja Anda.

Rabu, 04 Juni 2014

Sejarah Makanan Di Kudus

Pembuatan Jenang



Kudus merupakan kota yang terkecil di Provinsi Jawa Tengah dengan berbagai potensi yang dimiliki mulai dari kekayaan industri, budaya, pertanian sampai pada makanan dan oleh-oleh khas Kudus. Oleh-oleh yang melekat karena citarasa yang khas tak lain adalah Jenang Kudus. Penganan  ini terbuat dari tepung beras, santan, dan gula jawa.
Ada hal unik mengenai asal muasal Jenang di Kudus ini beberapa sumber menceritakan adanya Tradisi Tebokan. Kirab Tebokan merupakan salah satu bentuk pelestarian tradisi dan sejarah pembuatan jenang. Hal itu tidak terlepas dari kisah Mbah Dempok dan cucunya. Konon, ketika Mbah Dempok Soponyono sedang bermain burung dara di tepi Sungai Kaliputu, cucunya tercebur dan hanyut. Meski tertolong, cucu Mbah Dempok diganggu Banaspati, makhluk halus berambut api. Sunan Kudus menyimpulkan cucu Mbah Dempok telah tiada, tetapi Syekh Jangkung menyatakan cucu Mbah Dempok mati suri. Untuk membangunkannya, Syekh Jangkung meminta ibu-ibu membuat jenang bubur gamping. Mitos itulah yang melatarbelakangi berkembangnya industri jenang Kudus. Mitos itu pulalah yang menginspirasi ibu-ibu Desa Kaliputu bekerja di industri jenang kudus.
Namun ada cerita lain yang melatarbelakangi adanya jenang di Kudus. Menurut cerita rakyat, jenang kudus lahir ketika Sunan Kudus (salah satu anggota Wali Sanga) menguji kesaktian salah satu muridnya yang bernama Syech Jangkung alias Saridin dengan menyuruhnya memakan bubur gamping di tepi Sungai Gelis di wilayah Desa Kaliputu. Padahal, gamping adalah salah satu hasil tambang yang sebagian besar mengandung kalsium karbonat dan biasanya dicampur dengan semen untuk digunakan sebagai bahan pembuatan tembok.
Ternyata Saridin tetap segar bugar sehingga Sunan Kudus berucap, ”Suk nek ono rejaning jaman wong Kaliputu uripe seko jenang.” Artinya lebih kurang, jika suatu saat kelak sumber kehidupan warga Desa Kaliputu berasal dari usaha pembuatan jenang.

Sejarah Kota Solo Di Jawa Tengah


Kota Solo




Solo, atau Surakarta, merupakan nama sebuah kota yang berada di , Provinsi Jawa Tengah Indonesia. Kota ini terletak pada jalur strategis, yang mempertemukan jalurdari arah Jakarta ke Surabaya atau Bali, dari arah Semarang dan dari Yogyakarta menuju Surabaya dan Bali atau sebaliknya.
Sejarah kota ini bermula saat kerajaan (Keraton) Kartasuro telah mengalami kerusakan sangat parah akibat perang antara Baginda (Sunan Pakubuana/PB II) dengan Sunan Kuning (1742). Berkat bantuan VOC, PB II dapat merebut kembalikeraton Kartasura. Tentu saja bantuan tersebut tidak gratis akan tetapi denganmengorbankan beberapa wilayah warisan Mataram untuk diberikan pada VOC.
Selain itu pemberontakan juga telah mengakibatkan hancurnya bangunan keraton.Hancurnya bangunan keraton dinilai telah menghilangkan kesaktian keraton karena pemberontak itu telah masuk kedalam keraton, sehingga akan mempengaruhi pamor dan wibawa kerajaan, oleh karena itu sudah tidak tepat kalau terus mempertahankan keraton Kartasuro sebagai pusat pemerintahan atau ibu kota kerajaan Mataram.
Berawal dari situ, maka PB II menunjuk beberapa orang narapraja diantaranya: Tumenggung Honggowongso, Adipati Pringgoloyo, Adipati Sindurejo, Tumenggung Mangkuyudo, Tumenggung Pusponegoro, Ngabei Yosodipuro, Mayoor Hogengdarp, yang kemudian ditambah dengan Pangeran Wijil, Tumenggung Tirtiwigunio, Kyai Kalifah Buyut dan Penggulu Fekih Ibrahim, untuk mencari tempat yang akan dijadikan sebagai pusat pemeritahan kerajaan.
Setelah melakukan pengembaraan ke berbagai tempat, para narapraja tersebut akhirnya menemukan tiga tempat atau desa yaitu Desa Kadipala, Desa Sala, dan desa Sana Sewu, yang bisa dijadikan sebagai pusat pemerintahan baru. Setelah melakukan perundingan, akhirnya dipilihlah Desa Sala untuk diajukan kepada Sunan PB II sebagai pusat keraton Mataram yang baru. Desa Sala yang letaknya kurang lebih 10 Km sebelah timur kota Kartasuro.
Baginda menyetujui usulan tersebut, yang kemudian oleh Sri Baginda Sunan Paku Buana II diberi nama Surakarta Hadiningrat. Pada hari rabu tanggal 17 Syura 1670 atau 17 Februari 1745, pindahlah Baginda Sunan Paku Buana II dari Kartasuro ke Surakarta Hadiningrat, perpindahan ini dilaksanakan dengan kirab secara besar-besaran. Maka sejak saat itu Ibu kota Kerajaan Mataram pindah dari Kartasuro ke Surakarta Hadiningrat. Peristiwa inilah yang kemudian dijadikan sebagai dasar hari lahir kota Solo.
Dari desa Sala tersebut pusat pemerintahan kerajaan Mataram dijalankan dan dikendalikan. Disebut sebagai desa Sala, karena di desa tersebut hidup seorang tokoh masyarakat yang bijaksana bernama KYAI SALA. Selain itu desa ini juga berawa-rawa dan penuh dengan pohon Sala yaitu pohon tom atau nila, namun ada juga yang menyebut pohon sala sejenis pohon pinus.
Kendati aslinya bernama Sala (pakai huruf a) namun dalam perkembangannya berubah dan lebih akrab disebut Solo (pakai huruf o), hal ini terjadi terjadi karena kesalahan orang Belanda dalam menyebut nama kota ini karena memang lidah mereka tidak seluwes lidah orang Indonesia. Sejak saat itu kemudian tidak hanya orang asing saja, akan tetapi masyarakat Indonesia pun menyebut dengan SOLO. Penyebutan ini terasa lebih mudah dilafalkan, dicerna dan memiliki makna yang khas dibanding nama resminya.
Nama Surakarta hadiningrat menjadi seperti kalah pamor dibanding Solo karena sikap sang pemberi nama, Paku Buwono II, yang saat itu pro kolonial. Surakarta kemudian dianggap menceriminkan watak kekuasaan, kapitalis-kolonial, sementara Solo mencerminkan semangat kerakyatan (mengakar sebagaimana asal namanya dari pohon Sala) dan memberi keteduan, keayoman pada rakyat (rimbun dedaunan).

Bagi orang Solo, persoalan nama tersebut bukanlah suatu masalah yang berarti. Persoalan itu hanya muncul dikalangan intelektual akademis saja. Sebab bagi rakyat Solo, nama Surakarta pun diterima sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan kepada PB II, yang adalah pendahulu, terlepas dari sikap pro kolonial dan lain sebagainya.


Sejarah Kota Semarang Jawa Tengah

Kota Semarang


Saat itu di Jawa Tengah berdirilah kerajaan Demak yang merupakan salah satu kerajaan yang bercorak Islam. Hiduplah seorang pangeran yang terkenal bernama Raden Made Pandan. Beliau terkenal sebagai seorang ulama dan seorang bangsawan. Banyak orang yang hormat dan segan terhadap beliau.beliau mempunyai seorang putra yang bernama Raden Pandanarang. Seperti halnya bapaknya Raden Pandanarang ini terkenal sebagai anak yang sopan, ramah, baik hati dan berbakti kepada orang tuanya.
Kemudian Raden Made Pandan mengajak anaknya dan para pengiringnya untuk meninggalkan kesultanan Demak. Mereka pergi kearah barat untuk mencari daerah baru yang akan ditempati. Berhari-hari dalam perjalanan, akhirnya Raden Made Pandan meminta berhenti dan merasa cocok dengan daerah yang dirasa cocok untuk didiami.
Hutan itupun dibuka dan didirikan pondok pesantren dan lahan pertanian. Di tempat baru tersebut Raden Made Pandan mengajarkan agama Islam kepada para pengikutnya. Lama kelamaan keberadaan tempat tersebut dan pondok pesantren itu mengundang banyak orang untuk datang menimba ilmu agama di tempat tersebut.
Di tempat inilah Raden Made Pandan merasa senang hati hidup bersama putranya. Beliau berharap sang putra nantinya bisa menggantikanya untuk menjadi guru agama Islam di tempat mereka sekarang.
Sebelum meninggal Raden Made Pandan berpesan kepada putranya Raden Pandanarang agar melanjutkan cita-ita beliau. Raden Pandanarang diminta untuk tidak meninggalkan daerah tersebut. Raden Pandanarang diminta untuk menyebarkan agama Islam di tempat itu serta mengelola tanah pertanian di sekitar derah itu.
Wasiat ayahnya itu benar-benar diperhatikan oleh Raden Pandanarang. Raden Pandanarang menjadi seorang guru agama yang menyampaikan ilmu agama Islam kepada masyarakat sekitar, serta mengelola lahan pertanian. Dari hasil pertanian didapatkan hasil panen bahan pangan yang melimpah. Dengan relatif singkat banyak orang datang untuk belajar ilmu agama Islam.
Suatu hari Raden Pandanarang menggarap lahan pertanian bersama para pengikutnya, tiba-tiba terjadi sesuatu yang aneh. Di antara pohon yang hijau subur itu terdapat beberapa pohon asam yang tumbuh saling berjauhan. Orang-oarang yang melihat hal itu juga heran, mengapa di tanah yang subur itu tumbuh pohon asam yang saling berjauhan?
Demi melihat kejadian itu Raden Pandanarang mengatakan bahwa daerah ini saya beri nama Semarang. Berasal dari kata Asem yang jarang-jarang. Demikianlah asal usul kota Semarang yang kini menjadi kota yang ramai di Jawa Tengah bahkan menjadi ibu kota propinsinya. Karena jasanya membuka dan mendirikan pertama kali kota Semarang, yaitu Raden Pandanarang, maka beliau diangkat langsung sebagai pimpinan serta mendapat gelar Ki Ageng Pandanarang I.

Sejarah Kota Kudus Jawa Tengah

Kota Kudus


Sejarah Kota Kudus tidak terlepas dari Sunan Kudus. Karena keahlian dan ilmunya, maka Sunan Kudus diberi tugas memimpin para Jamaah Haji, sehingga beliau mendapat gelar “Amir Haji” yang artinya orang yang menguasai urusan para Jama’ah Haji. Beliau pernah menetap di Baitul Maqdis untuk belajar agama Islam. Ketika itu disana sedang berjangkit wabah penyakit, sehingga banyak orang yang mati. Berkat usaha Ja’far Shoddiq, wabah tersebut dapat diberantas.
Atas jasa-jasanya, maka Amir di Palestina memberikan hadiah berupa Ijazah Wilayah, yaitu pemberian wewenang menguasai suatu daerah di Palestina. Pemberian wewenang tersebut tertulis pada batu yang ditulis dengan huruf arab kuno, dan sekarang masih utuh terdapat di atas Mihrab Masjid Menara Kudus (lihat gambar).

Peran Sunan Kudus
Sunan Kudus memohon kepada Amir Palestina yang sekaligus sebagai gurunya untuk memindahkan wewenang wilayah tersebut ke pulau Jawa. Permohonan tersebut dapat disetujui dan Ja’far Shoddiq pulang ke Jawa. Setelah pulang, Ja’far Shoddiq mendirikan Masjid di daerah Kudus pada tahun 1956 H atau 1548 M. Semula diberi nama Al Manar atau Masjid Al Aqsho, meniru nama Masjid di Yerussalem yang bernama Masjidil Aqsho. Kota Yerussalem juga disebut Baitul Maqdis atau Al-Quds. Dari kata Al-Quds tersebut kemudian lahir kata Kudus, yang kemudian digunakan untuk nama kota Kudus sekarang. Sebelumnya mungkin bernama Loaram, dan nama ini masih dipakai sebagai nama Desa Loram sampai sekarang. Masjid buatan Sunan Kudus tersebut dikenal dengan nama masjid Menara di Kauman Kulon. Sejak Sunan Kudus bertempat tinggal di daerah itu, jumlah kaum muslimin makin bertambah sehingga daerah disekitar Masjid diberi nama Kauman, yang berarti tempat tinggal kaum muslimin.

Cerita Rakyat
Ada cerita rakyat di Kudus tentang 'apa sebab masyarakat Kudus sampai sekarang tidak menyembelih sapi'?. Sebelum kedatangan Islam, daerah Kudus dan sekitarnya merupakan Pusat Agama Hindu. Dahulu Sunan Kudus ketika dahaga pernah ditolong oleh seorang pendeta Hindu dengan diberi air susu sapi. Maka sebagai rasa terima kasih, Sunan Kudus waktu itu melarang menyembelih binatang sapi dimana dalam agama Hindu, sapi merupakan hewan yang dimuliakan. 
Hari Jadi Kota Kudus
Hari Jadi Kota Kudus di tetapkan pada tanggal 23 September 1549 M dan diatur dalam Peraturan Daerah (PERDA) No. 11 tahun 1990 tentang Hari Jadi Kudus yang di terbitkan tanggal 6 Juli 1990 yaitu pada era Bupati Kolonel Soedarsono. Hari jadi Kota Kudus dirayakan dengan parade, upacara, tasyakuran dan beberapa kegiatan di Al Aqsa / Masjid Menara yang dilanjutkan dengan ritual keagamaan seperti doa bersama dan tahlil.

Postingan Lebih Baru Beranda